Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, apakah gerangan yang membuat kalian terperdaya oleh Rabbmu Yang Maha Pemurah?” (QS. al-Infithar: 6)
Sebagian ulama berkata bahwa di dalam firman Allah “Apa yang membuat kalian terperdaya oleh Rabbmu Yang Maha Pemurah” terdapat isyarat mengenai jawaban atas pertanyaan ini. Yaitu bahwasanya yang menyebabkan manusia terperdaya dan terlena adalah kemurahan Allah ‘azza wa jalla serta penundaan hukuman dan kelembutan sikap-Nya. Padahal sesungguhnya tidak boleh orang terperdaya dan terlena disebabkan hal itu. Karena Allah membiarkan orang zalim bebas berkeliaran sampai tiba waktunya Allah menghukumnya dan pada saat itulah dia tidak mampu lagi untuk mengelak darinya. Lalu, apakah gerangan yang membuatmu terperdaya oleh karunia Rabbmu Yang Maha Pemurah? Jawabnya: kemurahan dan kelembutan Allah. Inilah sebab yang memperdaya manusia sehingga membuat dirinya terus menerus bergelimang dalam maksiat, mendustakan kebenaran dan bersikeras mempertahankan penyimpangan (lihat Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 65)
Aduhai, alangkah tepat apa yang digambarkan oleh ayat yang mulia tersebut! Betapa sering kita jumpai diri kita ini; dengan berbagai kenikmatan yang Allah curahkan dan alirkan ke dalam berbagai relung nafas kehidupan kita, namun ternyata hal itu bukannya semakin menyadarkan kita akan kesalahan dan dosa yang kita perbuat di hadapan-Nya. Justru sebaliknya, kita justru semakin berbuat semaunya, membangkang dan menerjang larangan-larangan-Nya, bertindak semena-mena seolah-olah tiada kematian yang akan memutuskan harapan dan angan-angan para durjana.
Saudaraku yang kucintai, semoga Allah membukakan hati kita untuk menerima kebenaran yang datang dari-Nya. Tidakkah engkau ingat, sebuah nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita dahulu. Dahulu, kita tidak mengenal Islam dan Sunnah ini sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dahulu, kita masih terlena oleh berbagai kesenangan dunia dan berbagai hiburan yang tak mengenal batasan agama. Dahulu, kita tidak mengenal apa itu tauhid, apa itu manhaj, bahkan kita pun tidak mengenal apa tujuan hidup kita yang sebenarnya. Bukankah demikian keadaan kita dulu sebelum Allah pancarkan hidayah itu di dalam lubuk hati kita setelah kegelapannya?
Lalu mengapa -wahai saudaraku yang mulia- pada hari ini kita seolah-olah telah melupakan kenikmatan agung itu… Kita kembali terlena oleh suasana dan hiruk pikuk kehidupan dunia yang fana dan melalaikan dari-Nya. Mengapa kita lalai dan terlena serta terus menerus melestarikan pembangkangan kepada-Nya? Apakah kita telah berani meremehkan hak-hak Allah ta’ala? Ataukah kita berani melecehkan dan menganggap sepele hukuman yang akan ditimpakan oleh-Nya kepada kita? Ataukah karena kita memang sudah tidak lagi mengimani akan balasan yang dijanjikan-Nya? (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, Juz 2 hal. 1274)
Maha suci Allah, betapa lancang dan kurang ajarnya diri kita ini! Setiap detik kehidupan ini kita senantiasa diberi karunia nikmat dan kemurahan dari-Nya lantas itu semua kita balas dengan kedurhakaan dan pembangkangan bahkan penghinaan kepada-Nya?! Betapa tidak tahu dirinya kita ini… Wahai saudaraku, bukankah Allah yang telah menunjukimu sehingga mengenal Islam dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah Allah yang membimbingmu sehingga mengetahui tata cara beribadah yang benar kepada-Nya? Bukankah Allah juga yang mengentaskan kebodohanmu sehingga engkaupun menjadi orang yang berilmu? Lalu mengapa -dengan ilmu itu- kamu tidak semakin bertambah taat dan patuh kepada-Nya? Dimanakah ilmu yang ada pada dirimu?
Bukankah Allah ta’ala telah mengingatkan dan memuji orang-orang yang berilmu dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Alangkah benar ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang yang berilmu akan senantiasa dinilai sebagai orang bodoh selama dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkannya maka barulah dia benar-benar menjadi orang berilmu yang sejati.” (Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Iqtidha’ al-‘Ilmi al-‘Amala). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu juga berkata, “Bukanlah ilmu itu didapat hanya dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakekat ilmu itu adalah yang membuahkan rasa takut kepada Allah.” (dinukil oleh Ibnul Qayyim di dalam al-Fawa’id).
Inilah rahasianya; mengapa selama ini pengetahuan yang kita miliki tidak mengantarkan kita menjadi hamba-hamba yang patuh dan tunduk kepada-Nya, namun justru menjadikan kita sebagai para pemuja hawa nafsu yang senantiasa menerjang aturan-Nya. Tiada lain karena rasa takut kepada-Nya tidak menghiasi hati dan perilaku kita. Hati kita dipenuhi dengan kecintaan terhadap dunia dengan segala perhiasannya. Hati kita dipenuhi dengan kegandrungan kepada kesenangan dunia yang sementara lagi menipu. Hati kita telah mabuk dan terpesona oleh rayuan nafsu dan bujukan syaitan yang durjana.
Itulah rahasianya mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada kita untuk segera beramal yaitu mengamalkan ilmu yang telah kita mengerti. Dan mengamalkan ilmu itu adalah cerminan rasa takut kita kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal itu supaya kita tidak tergolong orang yang tertipu dengan dunia; sehingga akibatnya kita pun rela menjual agama demi mendapatkan kesenangan dunia yang menipu dan sementara saja, Allahul musta’aan! Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah kalian melakukan amal-amal sebelum datangnya fitnah-fitnah yang datangnya bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita. Yang membuat seorang di pagi hari masih beriman, namun di sore harinya dia telah berubah menjadi kafir. Atau di sore hari dia beriman, namun di pagi harinya berubah menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para ulama suu’ duduk di depan pintu surga seraya menyeru manusia supaya masuk ke dalamnya dengan ucapan lisan mereka. Akan tetapi mereka mengajak kepada neraka dengan amal perbuatan mereka. Setiap kali ucapan mereka mengajak manusia, “Kemarilah!” maka perbuatan mereka justru berkata, “Jangan kalian dengarkan ucapannya.” Karena seandainya apa yang dia serukan adalah kebenaran maka niscaya dia adalah orang yang pertama kali melakukannya. Mereka itu secara lahir tampak sebagai pemberi petunjuk, akan tetapi pada hakekatnya mereka adalah perampok.” (al-Fawa’id, hal. 60)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya maka hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada keinginan hawa nafsunya. Hati yang begitu terpikat dengan syahwat akan terhalangi dari Allah sesuai dengan kadar ketergantungan hati itu kepadanya. Hati merupakan bejana -untuk mengenal- Allah di atas muka bumi yang diciptakan-Nya. Maka hati yang paling dicintai-Nya adalah hati yang paling lembut, paling kuat, dan paling jernih. Aduhai, mengapa mereka menyibukkan hati mereka dengan dunia. Seandainya mereka mau menyibukkannya dengan -kecintaan kepada- Allah dan -harapan terhadap- hari akherat niscaya akan tampak dengan jelas bagi mereka keagungan makna firman-Nya dan kebesaran ayat-ayat-Nya yang bisa disaksikan dan niscaya dia akan mampu memetik berbagai hikmah yang jarang ditemukan dan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga.” (al-Fawa’id, hal. 95)
Wahai saudaraku, kembalilah ke jalan Rabbmu. Sesungguhnya barisan para mujahid senantiasa menunggu kehadiranmu. Allahu waliyyut taufiq.